Beberapa Hal Terkait Penulisan Cerpen


Jusuf AN*)

Kadang-kadang memang dibutuhkan guru atau pembimbing agar maksud dan tujuan belajar dapat terarah dan berhasil. Tetapi perlu disadari, keterampilan menulis berbeda dengan keterampilan lain, semisal menjahit atau montir, yang teknis-mekanis. Menulis cerpen adalah seni yang mengedepankan kreatifitas. Maka, workshop/lokakarya penulisan tidak akan membuat seseorang otomatis lihai menulis, meski dapat peserta dapat menyerap dan memahami materi. Barangkali hal tersebut penting saya sampaikan di muka, agar kita tidak berharap berlebihan pada kegiatan semacam ini.

Apakah menulis cerpen membutuhkan teknik?


Tentu saja. Banyak orang bisa menulis cerpen, tetapi asal saja. Memang kadang-kadang (untuk menyenangkan diri sendiri dan orang lain) saya mengatakan bahwa novel atau cerpen yang bagus adalah yang selesai ditulis. Belajar teknik tidak hanya akan membuat tulisan kita cepat selesai, tetapi juga berkualitas. Mestinya begitu, meski ada sebagian orang yang malah kesulitan mengarang justru setelah banyak mengikuti workshop dan membaca teori-teori penulisan karya fiksi. Entahlah. Yang jelas, dengan memahami teknik menulis paling tidak kita jadi bisa menilai bobot sebuah karangan, termasuk tulisan kita sendiri.

Menurunkan ide/gagasan ke dalam tulisan

Anggaplah Anda sudah memiliki sebuah ide cerpen--itu seperti seorang pelukis yang telah memiliki konsep dan bahan-bahan untuk melukis. Betapa banyak orang belingsatan mencari ide menulis. Anda yang sudah memilikinya, tinggal selangkah lagi menghasilkan karya. Jadi, mulai saja! Semudah itukah? Tentu saja tidak. Duduk dan meniatkan diri untuk menulis saja bagi sebagian orang sudah merupakan sesuatu yang berat, terlebih memulai sebuah tulisan.

Perlukah membuat outline/draft?


Perlu, jika memang dianggap perlu. Ini tergantung kebiasaan penulis. Tujuan pembuatan outline adalah untuk melancarkan proses penulisan. Isi draft cerpen bisa berupa ide dasar, bagaimana cerita akan berjalan, tokoh dan karakternya, konflik, ending, dan beberapa pilihan judul. Sekali lagi, tidak semua penulis bekerja dengan bantuan outline, apalagi untuk cerpen yang tidak lebih dari 10 halaman. Tetapi sebagaian besar penulis mencatat atau menceritakan ide cerpen mereka untuk mengingat dan mengembangkan cerita.


Kalimat pembuka

Meski kalimat tersebut hanya sebuah kata, tapi pembuka cerpen harus diwujudan. Tidak akan ada cerpen jika masih berkitar-kitar dalam kepala.

Kalau Anda merasa kesulitan menulis kalimat pembuka, sebaiknya tak perlu menjadi beban. Sudah lumrah bagi penulis menghabiskan waktu berjam-jam di depan mesin tulisnya untuk mencari kalimat terbaik bagi cerpennya. Lambatnya menentukan kalimat pembuka menjadi penghambat besar bagi penulis cerita. Padahal sebenarnya untuk membuat kalimat pembuka yang bagus, bisa ditunda nanti setelah cerpen tersebut telah selesai. Tetapi meski sudah tahu teori ini, toh kita kerap begitu hati-hati membuat kalimat pembuka. Ya kan? Besok-besok jangan lagi ya, janji?!

Memperhatikan bangunan cerpen

Sebuah cerpen ibarat sebuah bangunan. Bisa jadi ia akan tampak indah, tapi sebenarnya rapuh. Bisa pula ia tampak gagah dan kuat, tapi membosankan. Maka, penulis yang baik akan selalu memperhatikan unsur-unsur pembangun cerpennya. Berikut ini:

a. Tokoh dan Penokohan

Cerpen adalah fiksi, rekaan semata. Herannya, masih ada penulis yang menanggap bahwa apa yang ditulisnya takut dikatakan kisah nyata sehingga ragu, takut, dan merahasiakan hal-hal penting dari tokoh-tokoh cerpennya. Bisa saja kita mengatakan bahwa cerpen saya ini terinspirasi dari tokoh tertentu, tetapi ketika ia sudah menjadi sebuah cerpen, tetaplah ia fiksi.

Tapi bukan berarti kita bebas ngawur, memberi nama Yanto bagi tokoh kelahiran Padang, misalnya. Batu, angin, sampah, jam dinding, bisa saja kita jadikan tokoh cerita, tapi penokohan (karakter) mereka mesti tetap alamiah sehingga dapat di terima pembaca.

Tidak perlu dirisaukan mana-mana yang merupakan tokoh utama, tokoh pelengkap, dan peran mereka dalam cerita (protagonis, antagonis, tritagonis). Yang utama, menyadari bahwa mereka itu hidup (penulislah yang menghidupkan), bukan sekadar alat. Karenanya, penulis mesti paham betul dengan tokoh-tokoh yang ia angkat dalam cerita sehingga cerpennya, tampak seperti nyata.

b. Latar

Latar bukan saja berakitan dengan tempat kejadian cerita. Namun berkait erat dengan suasana, waktu, budaya, adat istiadat, dan otomatis mempengaruhi bahasa, bahkan gaya penceritaan. Membuat latar yang tepat untuk cerpen memerlukan pengalaman dan tentu imajinasi. Jika tidak, penulis sangat rentan terpeleset pada kesalahan dan kekeliruan (anakronisme) akibat kurangnya menguasai tempat kejadian cerita, kondisi budaya dan sosial sewaktu cerita terjadi, dan lain sebagainya. Kalau toh ia aman dari kekeliruan, akibat yang lain adalah cerita menjadi hambar karena kurangnya sentuhan penggambaran latar yang mumpuni.

c. Alur/plot

Cerpen adalah jalinan peristiwa yang dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi satu rangkain cerita yang apik dan menarik. Sebuah cerpen yang kita anggap memukau dengan alur yang mundur misalnya, ketika dituturkan ulang dengan alur cerita maju saja, boleh jadi akan menjadi cerita yang kurang menarik. Alur dan plot bebas dibuat seperti apa, tetapi penting diperhatikan pengarang bahwa alur dan plot akan menentukan keharmonisan, daya membujuk, daya kejut, dan pesan cerita.

d. Pesan

“Sebagai orang tua, kita tidak boleh durhaka dengan mengutuk anak sendiri!” Bisa jadi itu pesan yang ditangkap seorang Ibu ketika ditanya pesan apa yang terkandung dalam cerita Malin Kundang. Sah saja! Setiap cerita mengandung pesan; dan seringkali masing-masing pembaca menangkap pesan yang berbeda dari cerita yang sama. Yang mesti digaris bawahi, cerpen itu memuat pesan, bukan bagian-bagian tertentu saja yang memberikan pesan, misal ucapan tokoh-tokoh tertentu. Kalau begitu, pesan dalam sebuah cerpen sangat mungkin tidak tunggal, dan pesan cerpen yang baik tidak verbal.

e. Bahasa

Bahasa adalah media utama dalam menyampaikan cerita. Kekuatan cerpen sebagian besar juga dipengaruhi oleh unsur ini. Bagaimana mungkin kita bisa membuat latar yang bagus, menggambarkan tokoh-tokoh kita secara cemerlang, kalau kita sendiri masih gagap dalam menggunakan bahasa. Untuk menajamkan dan melancarkan kelihaian berbahasa tidak ada jalan lain kecuali memperbanyak membaca karya orang lain.

f. Sudut pencerita

Bagi Anda yang terbiasa menulis dengan sudut pandangan orang pertama, bisa mencoba menggunakan sudut pandang orang ketiga, atau sudut pandang orang kedua (kau, kamu), dan sebaliknya. Lalu lihatlah hasilnya. Bisa jadi cerita yang kita buat akan berbeda dan sensasi (kenikmatan) ketika kita menuliskannya pun akan lain.

g. Tema

Tema memang digolongkan sebagai satu bagian intrinsik cerpen. Tetapi pertanyaannya, cerita yang menentukan tema ataukah tema yang menentukan cerita? Siapakah yang mengkategorikan bahwa cerpen ini bertema percintaan, cerpen itu tema pendidikan, dan lainnya? Kecuali untuk suatu urusan tertentu, misal untuk lomba, pengarang sebenarnya tidak perlu memikirkan terlalu mendalam berkaitan dengan tema.

Bahan-bahan bangunan cerpen di atas, yang pastilah sudah diajarkan oleh guru Bahasa Indonesia dalam bab unsur-unsur intrinsik cerpen sebenarnya tidak perlu terlalu dipikir njlimet. Tugas pengarang adalah membuat tulisan yang bagus, dan dengan memaksimalkan penggarapan pada unsur-unsur tersebut pengarang dan pembaca akan terbantu mengidentifikasi seperti apa cerita yang bagus. Tapi ketika kita mulai duduk menulis, sebaiknya lupakan teori-teori tersebut. Selain dapat menghilangkan kenikmatan proses menulis, juga dapat membuat pelibatan emosi pengarang menjadi berkurang. Padahal kita paham, sebuah tulisan bukan sekadar buah dari gagasan pikiran, tetapi juga perasaan.

Beberapa kelemahan yang sering dijumpai

Sebaiknya memang kita meminta pendapat orang lain untuk mengetahui kualitas cerpen kita. Atau paling tidak, kita membaca ulang dan tidak ragu mengadakan perbaikan atas cerpen kita sendiri. Cerpen yang kita tulis hari ini, bisa jadi akan kita temukan banyak kejanggalan dan kelemahan saat kita baca minggu depan. Hal itu sudah lumrah. Yang tidak lumrah adalah pengarang yang menganggap bahwa cerpen yang ia tulis sekali duduk sudah tak punya cela dan ia menutup kritik dan masukan dari orang lain.

Di bawah ini, beberapa kelemahan yang kerap saya temui pada cerpen:

· Judul yang tidak sesuai atau kurang menarik

· Paragraf pertama yang kurang menggugah selera

· Konflik tidak menarik

· Konflik yang kurang tergarap

· Pesan yang verbal/menggurui

· Anakronisme tokoh dan latar

· Kalimat mubazir

· Ending yang terburu-buru

· Kesalahan penulisan dan ejaan

Mengarang itu mengasyikkan, meski ia tidak selalu menjanjikan apa-apa. Mengarang akan lebih mengasyikkan ketika kita tidak terbebani apa-apa, meski pada situasi tertentu beban pengarang justru melahiran semangat dalam berkarya.

Sebagai penutup saya penting menegaskan bahwa penilaian baik dan buruk atas suatu kerya berbeda dengan suka dan tidak suka. Yang pertama obyektif, yang kedua subyektif. Untuk menghasilkan karya yang baik sekaligus disukai memang tidak mudah. Oleh sebab itu sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi yang tinggi kepada para pengarang. Salam

Tulisan ini disajikan dalam Lokakarya Penulisan Cerpen dan Esai, Kerjasama Komunitas Sastra Bimalukar dan Balai Bahasa Jawa Tengah, Sabtu 20 April 2019.

Posting Komentar

0 Komentar