Mencari Format Media Dakwah Generasi Milenial

media dakwah milenial
M. Yusuf Amin N

Apa itu generasi milleneal? Dengan memahami mereka maka kita akan menemukan pendekatan yang tepat untuk berbagai keperluan, termasuk dakwah. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad saw dalam memahami masyarakat makkah dan madinah, juga al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur dan sesuai konteks, dan juga para pendakwah Islam pertama yang Nusantara.

Era millenal bukan berarti semua masyarakatnya sudah mileneal. Masih banyak masyarakat yang kukuh para budaya dan tradisinya; ngaji bandongan, sorogan. Dan itu tidak masalah, selama juga tidak menutup hal-hal baru yang bisa mengembangkan budaya dan tradisi lama tersebut.

Generasi milenial secara umum dipahami sebagai generasi yang lahir antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2000. Ciri-ciri yang paling menonjol dari generasi ini adalah kedekatannya dengan teknologi informasi dan komunikasi. Apa yang dekat dengan kehidupan kita otomatis akan mempengaruhi sikap, pandangan, bahkan ideologi. Kebiasaan mendapatkan informasi secara cepat, dan ruang maya yang tak terbatas untuk mengaktualisasikan diri membuat cara pandang generasi mileneal menjadi praktis-pragmatis.

Dengan memahami karakter dan kehidupan yang mengungkungi generasi milenial tersebut maka sedikit banyak kita telah menemukan pendekatan yang tepat dalam berdakwah. Ya, dengan memanfaatkan media yang menjadi tempat nongkrong generasi milenial: youtube, instagram, televisi, dan lain sebagainya. Tetapi apakah hanya dengan itu saja sudah cukup?

Paling tidak ada lima hal yang mesti diupayakan dalam menghadapi kaum milenial. Pertama, pendidikan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Kedua, menolak diam. Ketiga, mengisi media dengan konten positif. Keempat, strategi memaksimalkan media. Kelima, menguatkan tradisi lama yang baik.

Pendidikan pemanfaatan TIK

Kehidupan generasi milenial yang tidak bisa lepas dari TIK dalam keseharian mereka mengharuskan adanya pendidikan yang mumpuni dalam memanfaatkan TIK. Pelajaran TIK di sekolah sudah semestinya tidak hanya mengajarkan teori dan hal-hal teknis terkait TIK tetapi juga mengajarkan bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dan informasi yang tepat dan akurat. Sebab kenyataannya, ada begitu banyak informasi yang kurang sesuai dengan kebutuhan, sebagian lagi sesat dan spam.

Menolak Diam


Ketika berbagai hal buruk berseliweran di sekitar kita; ketika apa yang kita tahu kebenarannya ternyata dikabarkan lain; hoax yang nyata; maka, bicaralah! Di belakang kita, ada jutaan orang yang menemukan hal sama, dan mereka membutuhkan komentar dari para pembaca lainnya. Adakalanya, diam atas hal-hal yang keliru berarti membuka peluang bagi yang lain untuk mengikuti jalan yang salah.

Ketiga, mengisi media dengan konten positif

Anggaplah internet adalah sebuah wadah raksasa. Di dalamnya bercampur-baur informasi; sebagian bermanfaat, sebagian lagi sampah. Tiap detik orang mengisi internet dengan berbagai konten. Semakin banyak kita mengisinya dengan konten positif maka wadah raksasa tersebut secara tidak langsung juga akan didominasi konten-konten positif dan konten negatif akan tersingkir dengan sendirinya. Apakah semudah itu? Tentu saja tidak. Tetapi logika mudahnya begitu.

Strategi memaksimalkan media

Sebagai sebuah mesin, internet memiliki cara kerja tersendiri, yang sebagian besar berjalan semi otomatis. Konten yang banyak dan bagus belum tentu akan muncul di halaman pertama mesin pencari. Artinya, dibutuhkan strategi dalam memaksimalkan media agar punya peluang lebih banyak diakses netizen. Jadi, tidak ada salahnya belajar SEO (search engine optimazion), design grafis, video editor, dramaturgi, fotografi, dan hal-hal lain yang mendukung dalam maksimalisasi media daring.

Menguatkan tradisi lama yang baik

Meski media digital telah begitu akrab dan tidak bisa dilepaskan dari kehidupan generasi milenial, tetapi media-media konvensional (buku, koran, mading, buletin, juga kesenian tradisional) bukan berarti layak ditinggalkan sama sekali. Buku kertas akan tetap dicetak dalam waktu 20 tahun ke depan, percayalah! Sebab ia punya banyak keunggulan dibanding buku digital.

Susungguhnya masyarakat Indonesia (khususnya generasi milenial), saat ini tengah mengalami apa yang disebut-sebut sebagai shock culture (gegar budaya). Ketika masyarakat kita masih begitu kuat dengan budaya oral (bicara), tiba-tiba harus meloncat ke budaya digital. Barat sudah sangat siap ketika menghadapi kemajuan TIK sebab memiliki budaya baca yang baik. Pada posisi yang demikian memang cukup membingungkan; apakah kita harus menguatkan budaya baca (buku konvensional) terlebih dulu untuk siap dengan budaya digital? Meninggalkan internet jelas tidak mungkin. Maka, barangkali yang terbaik adalah membuat keduanya berjalan harmonis-sinergis.


*Tulisan ini dibuat sebagai pematik diskusi rutin Lembaga Dakwah Mahasiswa UNSIQ Wonosobo dengan tema Media Dakwah Milenial.

Posting Komentar

0 Komentar