Cita Rasa Kopi dan Sastra



Jusuf AN*)

Suatu waktu pernah dilakukan survei untuk mengetahui cita rasa masyarakat Indonesia terhadap kopi. Dibuatlah 1500 cangkir kopi untuk 500 orang. Masing-masing orang mendapat bagian 3 cangkir terdiri dari tiga jenis kopi yang berbeda. Satu cangkir untuk kopi yang istimewa, satu lagi dengan bahan kopi asalan, dan satu sisanya dibuat dengan kopi busuk. Lalu orang-orang diminta menjawab, kopi manakah yang paling enak menurut mereka. Mengejutkan, lebih dari 80% ternyata memilih kopi busuk sebagai kopi yang paling enak menurut selera mereka.

Barangkali hal yang sama juga akan terjadi manakala dilakukan survei terhadap cita rasa bacaan sastra masyarakat kita. Tulisan-tulisan yang ringan, penuh hiburan, lebih disukai ketimbang tulisan yang berisi pesan-pesan tersirat. Karya-karya penulis nobel akan mendapatkan peminat bacaan yang lebih sedikit ketimbang karya-karya sastra populer. Demikiankah selera masyarakat kita?

Banyak orang sudah terlampau biasa menikmati kopi dengan kualitas rendah sehingga lidah menjadi asing dengan kopi mahal yang diperlakukan istimewa sejak panen hingga sangrai. Banyak orang terlalu kerap menyantap bacaan-bacaan ringan yang dikerjakan penulis sekali duduk sehingga kerap kikuk dan kesulitan untuk menikmati—lebih-lebih memahami—karya-karya yang ditulis pengarang melalui riset panjang dan proses berdarah-darah.

Kita tentu sepakat bahwa kopi kualitas bagus bukan saja sehat tapi juga menyehatkan. Demikian pula karya sastra yang bermutu bagus, tak hanya menarik dan memikat, tapi juga menyehatkan pikiran dan spiritual pembacanya. Sayangnya dibanding perubahan selera kopi masyarakat kita yang berangsur-angsur membaik, selera bacaan sastra kita agaknya tak menunjukkan kabar menggembirakan.

Bukti selera kopi masyarakat kita mulai membaik bisa ditandai dengan banyaknya masyarakat yang mulai beranjak dari kopi instan ke kopi original. Sebelum memesan kopi di kedai, banyak pertanyaan dilontarkan; kopi jenis apa, kopi dari mana, prosesnya seperti apa, hingga mesin sangrai yang digunakan. Cita rasa tak hanya berujung pada enak dan tidak enak, tapi mulai detail dengan menyebutkan flavor, tingkat kepekatan, sampai after taste. Untuk memberi penilaian terhadap kualitas secangkir kopi yang baik, orang bisa berkata begini: “Fruity, dan seperti ada gula arennya. Body dan acid-nya seimbang. Taste-nya clean, nyaman di tenggorokan.” Dan untuk kopi yang kurang enak, komentarnya akan mirip-mirip ini: “Flat. Paitnya nyesak di tenggorokan. Aromanya gosong dan langu.”

Barista dan pegiat kopi banyak berperan terhadap membaiknya cita rasa masyarakat terhadap kopi. Hingga kini, para barista di kedai kopi tak cuma bertugas menyeduh dan mengantarkan menu yang dipesan pelanggan, tapi bertanggung jawab untuk menjelaskan asal-muasal dan lain-lain terkait kopi yang diseduhnya. Kerap juga tanpa diminta barista akan bertanya pada pelanggan tentang kesan kopi yang ia buat. Lalu jika pelanggan masih awam, barista yang baik tak segan memberikan keterangan-keterangan—semacam memberi edukasi—yang akan diingat pelanggan saat kembali berkunjung ke kedai.

Barista yang baik tak jauh berbeda dengan pembaca yang memiliki selera bacaan yang bagus. Ia tak hanya akan mengatakan bahwa buku yang baru dibacanya bagus, tapi akan sanggup dan senang hati menerangkan kenapa buku itu ia katakan bagus. Dengan begitu maka pembaca awam yang masih sulit menemukan letak bermutunya sebuah buku akan terasadar dari cita rasanya yang buruk selama ini, mungkin saja.

Memang, memperbaiki selera bacaan sastra akan selalu berbenturan dengan industri buku yang cenderung menuruti selera pasar dalam menjalankan roda bisnis mereka. Maka, kita tak bisa memaksa penerbit untuk menerbitkan buku-buku bagus, sebab kecenderungan beberapa penerbit yang profit oriented itu. Memperbaiki selera bacaan sastra bisa diawali dari para pembaca itu sendiri, dan tentu saja keterlibatan para sastrawan. Sebagaimana yang dilakukan pegiat kopi dan barista dalam upaya memperbaiki selera kopi, bukan dengan memaksa industri kopi memproduksi kopi berkualitas, melainkan dengan pelan-pelan melalukan edukasi di tingkat hulu (petani) hingga hilir (konsumen). Jika itu terus dilakukan para pegiat sastra secara masif kita mungkin akan lebih optimis bahwa ke depan selera bacaan sastra masyarakat dapat membaik.

*) Jusuf AN, penulis. Pengelola Penerbit Bimalukar Kreativa

Posting Komentar

0 Komentar