Setelah Lokakarya Penulisan, Lalu Apa?


Sejak awal saya selalu mempercayai bahwa seseorang dapat menulis bagus tidak disebabkan karena ia mengikuti lokakarya atau pelatihan tertentu. Kalau toh pelatihan dan semacamnya tersebut mempengaruhi, barangkali hanya mempengaruhi pola pikir. Selebihnya, segala keputusan untuk bisa menulis bagus ada pada diri masing-masing peserta. Apakah ia benar-benar merenungi, sebelum kemudian mempercayai atau menolak apa-apa yang disampaikan pemateri? Apakah kemudian ia akan sanggup menyediakan waktu untuk menulis dan membaca lebih banyak lagi untuk meningkatkan kualitas tulisannya? Itu sudah di luar bagian dari acara. Keputusan untuk menyeriusi bidang penulisan sama sekali tidak dapat dipaksa. Paling-paling pemateri hanya bisa menyampaikan hal-hal seperti hikmah menulis, keajaiban imajinasi, rahasia-rahasia menghasilkan tulisan bagus, dan teknik-teknik menulis yang rata-rata diangkat dari pengalaman mereka sebagai penulis.

Semestinya acara semacam lokakarya atau pelatihan kepenulisan punya tindak lanjut. Sebab, selepas acara berakhir dan para peserta kembali ke rutinitas mereka masing-masing materi yang sudah didapat akan begitu mudah menguap, lenyap. Padahal ketika masih berada dalam forum tersebut, mereka sudah meniatkan dan memantapkan diri akan mencoba tips, trik, teknik dan lain-lain yang baru mereka dapat sesampai di rumah nanti. Nyatanya, memang tidak semudah yang dibayangkan!

Kalau memang membutuhkan tindak lanjut, dalam wujud seperti apa? Membentuk komunitas? Atau sekadar basa-basi berkumpul untuk pura-pura membicarakan masalah-masalah literasi? Apapun, yang jelas mesti ada aktivitas yang mendekatkan para peserta untuk tergoda dan mau mencoba dan tidak patah semangat berlatih dan terus berlatih untuk kemudian menghasilkan karya demi karya. Tentu saja kita tidak mungkin berharap berlebihan; seratus persen peserta akan menjadi penulis semua misal. Seleksi alam akan menguji siapapun dan memilih orang-orang tangguh yang mampu bertahan.

Barangkali memang menulis bisa dipelajari sendiri, tetapi saya lebih meyakini bahwa menulis, sebagai sebuah jalan membutuhkan pemandu, dan sebagai makhluk sosial penulis tentu saja membutuhkan teman perjalanan. Maka, bergabung dalam sebuah komunitas penulis menurut saya cukup berguna bagi yang ingin menjadi penulis. Paling tidak, kita memiliki teman yang bisa diajak ngobrol seputar masalah bacaan, dan perkembangan dunia kepenulisan. Lebih bagus lagi jika komunitas tersebut memiliki program klinik naskah. Atau kalau toh tidak ada program itu, penulis yang ingin meningkatkan kualitas karyanya sebenarnya tahu diri. Ia bisa mencetak karyanya untuk kemudian tidak segan meminta dibaca teman untuk dimintai tanggapannya. Teman sebaya (usia dan pengalaman) saya kira tidak masalah. Intinya, kita membutuhkan pendapat orang lain atas karya kita.

Lebih bagus lagi jika komunitas penulis punya program pertemuan klinik naskah, seminggu atau sebulan sekali misalnya. Para anggota akan berkumpul dengan membawa karya terbarunya (ya harus yang terbaru) lalu masing-masing memberikan masukan. Sesekali mengndang pakar untuk berbagi pengalaman. Semua itu, tidak ada tujuan lain kecuali memajukan kualitas karya, menambah teman, dan memupuk semangat. Bagaimana?

Posting Komentar

0 Komentar