Jusuf AN
Baca tulisan sebelumnya: Tema sebagai Pondasi Cerpen
Kita betah menghabiskan waktu tiga hari tiga malam membaca Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang tebal misalnya, itu karena Ahmad Tohari berhasil menggunakan perangkat bahasa yag menghipnotis pembaca. Sebaliknya, kita keok oleh cerpen satu halaman dan memilih untuk membaca cerpen yang lain disebabkan karena penggunaan bahasa dalam cerpen tersebut tidak menarik.
Dalam cerpen, bisa saja penulis menggunakan bahasa yang puitis, tetapi juga harus proporsional. Retorika dan kiasan bisa kita gunakan sebagai gaya bahasa untuk menciptakan keindahan tetapi bukan sesuatu yang mutlak, terlebih lagi jika gaya bahasa yang digunakan klise. Bahasa klise tidak memperindah jalinan cerita, melainkan sebaliknya.
Burung-burung berkicau merdu seakan-akan menyambut datangnya pagi.
Apa yang anda pikirkan dengan kalimat tersebut? Membosankan sekali. Itulah klise. Agar terhindari dari bahasa klise seorang penulis membutuhkan latihan yang tidak cukup dilakukan semalam. Selain, tentu, banyak membaca. Dengan membaca, otomatis akan memperkaya kosa kata, juga mengasah imajinasi dan mengenali gaya bahasa penulis lain.
Cerpen berbeda dengan novel yang memungkinkan penulisnya bereksplorasi lebih panjang dan bebas. Jadi, penggunaaan kata dalam cerpen haruslah seirit mungkin. Kalau memang tidak perlu, buang. Kalau cukup satu atau dua kata, tidak usahlah dipanjang-panjangkan. Intinya, tidak berbelit-belit. Untuk itu, pengulangan kalimat dengan maksud yang sama sebaiknya dihindari.
Penyampaian cerpen menggunakan bahasa sederhana yang pas masih lebih mengena ketimbang menggunakan bahasa yang ndakik-ndakik, mengejar rima, penuh metafora, tetapi justru mengaburkan cerita. Meski begitu, bukan berarti kita tidak perlu bereksplorasi dan melakukan eksperimentasi gaya bahasa.
Baca keseluruhan tulisan ini dari awal:
0 Komentar