Rahasia Produktif Menulis

Jusuf AN

Menjadi produktif menulis adalah satu anugrah yang diharapkan banyak orang, terutama, tentu saja oleh penulis. Sebab memang tidak semua penulis produktif. Sebagian ada yang membuat target seminggu satu tulisan, yang lain sama sekali tidak memiliki target, seturut para pemuda zaman now, ngalir aja.

Penulis yang saya maksud di sini bukan wartawan yang memang setiap harinya harus menulis berita, tetapi penulis yang bisa saja ia menggantungkan hidup dari menulis, tetapi ia tidak memiliki tekanan dari atasan. Seorang novelis misalnya, tidak memiliki tekanan, bebas menulis atau tidak menulis. Motivasi menulisnya bukan karena tuntutan pihak lain, meski bisa saja motivasi itu karena urusan tuntutan ekonomi.

Saya masih ingat saat awal-awal menggilai dunia tulis kepenulisan. Hampir setiap hari selalu menulis, entah puisi, cerpen, atau novel. Lalu lambat laun, produktifitas menulis saaya menurun. Dan ini membuat saya cukup cemas.

Kita tentu kenal dengan beberapa nama penulis yang bukunya pernah best seller dan namanya dikenal luas. Pasca kepopuleran buku mereka mereda, reda pula karya-karya mereka yang lain. Sebagian, saya juga mengenal para penulis besar yang sudah tidak menulis lagi, dalam arti benar-benar tidak menulis apapun, melainkan beralih menekuni hal lain. Sebagian lagi memang ada yang tetap menulis tetapi tidak untuk dipublish, atau dipublish tetapi tulisan itu tidak dalam rangka menjadikannya karya sebagaimana karya mereka dulu. Tulisan yang dibuat hanya sepintas lalu, tanpa adanya pendalaman, karena memang sengaja dibuat sebagai tulisan sepintas lalu saja.

Terakhir, ada yang semakin bertambah usianya, semakin bertambah pengetahuannya, justru semakin produktif menghasilkan karya, dan karya-karya mereka dari waktu ke waktu, tidak mengalami penurunan kualitas, bahkan meningkat. Ini yang saya iri. Bagaimana bisa?

Dalam sebuah ceramah seorang kiai di pengajian peringatan maulid nabi, selintas saya mendengar wejangan yang cocok dengan tulisan saya ini. Menurut kiai yang saya lupa namanya itu, orang wajib menjalani perannya. Anda pintar baca al-Qur’an, sementara di sekitar anda tidak ada guru ngaji, maka anda mesti merelakan diri anda menjadi guru ngaji. Sebagai rakyat, kita mesti pula menyadari peran kita sebagai rakyat, yang taat pada pemimpin dan sebagainya. Sadar peran ternyata begitu penting dalam menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Khoiru an-nas anfa’uhu li an-nas, barangkali relevan dengan itu.

Seorang penulis, yang dianugrahi kemampuan menulis, mesti juga menjalani perannya sebagai penulis. Meskipun tidak ada kewajiban tertulis dan ancaman pidana baginya jika berhenti menulis. Meski kalau toh dia tidak menulis, dia akan tetap hidup dari penghasilan lain. Mungkin itu yang terpatri dalam dada si penulis sejati, sehingga ia dapat begitu ringan dan lancar dalam berkarya.

Lebih dari itu, sebenarnya ada satu hal yang dapat menjaga stamina dan spirit penulis untuk terus berkarya. Keberanian. Ya, bagi penulis yang sudah punya nama, menulis kadang-kadang justru menjadi beban psikologis. Karyanya adalah harga dirinya. Bukunya adalah kehormatannya. Tulisannya adalah nama baiknya. Sementara karya seseorang, yang meskipun sudah diusahakan maksimal menjadi karya berkualitas, kadang-kadang tidak mendapat sambutan sebaik karya-karya sebelumnya. Ini berarti, penulis bertarung dengan dirinya sendiri. Apakah ia akan tetap menulis demi mendapatkan nilai yang baik dari pembaca, atau ia menulis karena menjalankan perannya sebagai penulis.

Ketakutan


Ketakutan menjadi satu hal yang mengancam seseorang untk produktif. Tambah kemampuan dan keilmuan di bidang kepenulisan akan membuat orang semakin hati-hati dalam menulis. Itu bagus saja. Tetapi kalau yang terjadi justru membuatnya menjadi takut, cemas, khawatir, akan menghasilkan karya yang kurang berhasil, sehingga ketakutan dan kecemasan itu membuatnya tidak menulis, barangkali hal tersebut mesti segera di atasi.

Bagaimana caranya? Salah satunya dengan menyuntikkan pikiran-pikiran positif. Dengan menebalkan keyakinan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan kecuali Tuhan. Dengan mengingat-ingat kebahagiaan yang ia alami setelah berhasil menyelesaikan satu tulisan. Dengan meyakini bahwa, bagi sebagian orang karya saya ini mungkin dianggap buruk, tetapi bagi sebagian yang lain bisa jadi ini dianggpa bagus. Atau dengan bersikap cuek sekalian, persetan omongan orang. Menulis ya menulis.

Posting Komentar

0 Komentar