"Karya yang monumental lahir dari para seniman yang didasarkan atas cinta, atau benci, atau patah hati." Entah kenapa mendadak saya teringat pernyataan itu, atau mirip itu, yang pernah saya dengar dari maestro sastra Ahmad Tohari.
Jalaluddin Rumi yang
mabuk cinta Allah melahirkan puisi-puisi yang hebat, menggetarkan, dan terus
dibaca selama lebih dari 8 abad. Demikian pula William Shakespeare, menulis
drama Romeo and Juliet yang masyhur lantaran diilhami oleh bunga yang mekar
dalam hatinya, juga hati yang remuk dan terbakar.
Tema cinta memang
selalu abadi, tak pernah habis digali, dan terus dijadikan sumber inspirasi
para seniman, dan tetap saja mendapatkan banyak perhatian. Ini seperti sebuah
keajaiban, atau sebenarnya satu hal yang sudah selayaknya. Kita maklum saja,
sebab manusia dianugrahi perasaan itu, dan bahkan disebut-sebut bahwa Cinta
adalah asalmula segala benda. Dan tema cinta bagaikan magnet yang menarik orang-orang
untuk kembali melongok ke dalam cermin yang memantulkan diri mereka sendiri.
Meski begitu, tidak
semua karya tentang cinta dapat bertahan lama, dalam arti terus dikenang,
diperbincangkan, dijadikan referensi, menjadi tonggak (pathokan), dan bahkan semacam kitab suci (pedoman). Sebagian kecil
yang bertahan ternyata adalah karya-karya yang menyatu dengan sejarah dan
perilaku sang seniman. Ini menandakan bahwa keterlibatan emosi tidak hanya
dapat mempengaruhi kuatnya sebuah karya, tetapi akan membuat karya tersebut memiliki
ruh yang dapat hidup lebih lama ketimbang jasad.
Lalu kebencian? Jika
ada hal yang kuat menggerakkan seseorang, itu adalah benci. Seniman banyak
menghasilkan karya atas dasar kebencian mereka terhadap sesuatu. Kebencian ini
menghasilkan api amarah, bahan bakar yang ampuh memunculkan gairah dalam
berkarya. Kebencian terhadap tirani, pemerintah yang otoriter, ketidakadilan para
penguasa, nasib yang pahit, dan hal-hal semacam itulah yang biasanya menyulut
tangan para seniman untuk berkarya. Bisa jadi karya mereka memang diniatkan sebagai
jalan perlawanan, atau pelepasan emosi yang meluap-luap dalam dada.
Benci, dendam, amarah.
Adakalanya memang perlu dirawat. Dan jika mendapat penyaluran yang tepat, maka mereka
dapat berubah menjadi ledakan yang kuat. Bob Marley, Widji Thukul, W.S Rendra,
dan banyak seniman lain yang menggelontorkan kebencian mereka melalui karya. Dan kita bisa lihat,
karya-karya mereka seakan memiliki kekuatan magis, tak sekadar menghibur dan
memberi informasi, tapi menggetarkan, dan menggerakkan.
Pun patah hati? Betapa
biasanya adalah gabungan antara cinta dan benci? Cinta yang tidak direstui, perpisahan
yang tidak diinginkan, kemiskinan yang bertubi-tubi dan lain sebagainya. Patah
hati sungguh dapat melahirkan kekuatan besar yang tak pernah terbayangkan. Ia
dapat merusakmu, merusak apa-apa yang ada di sekitarmu, tetapi juga bisa menjadi
cahaya dan mata air yang menyejukkan bagi siapa saja.
Didi Kempot adalah
fenomena di mana the power of ambyar itu
bekerja. Lirik-lirik lagunya mendapat tempat yang lapang di hati banyak orang.
Ya, meski lirik-lirik dengan tema yang sama tak terhitung jumlahnya, tapi Didi
Kempot terpilih sebagai "Bapake Lara Ati" (The God Father of Broken Heart). Lagu-lagunya dianggap mewakili jutaan umat, yang
tergabung dalam jamaah ambyar. Didi Kempot sendiri mengakui
bahwa inspirasi lagu-lagunya adalah kisah hidupnya sendiri, tentu saja tidak
seluruhnya. Tetapi soal patah hati (ambyar), beliau salah satu pawangnya. Tidak jauh beda dengan Shakespeare yang
lara karena dtinggalkan kekasihnya, Paman Didi Kempot pernah terluka karena
cintanya tidak direstui oleh orang tua kekasihnya. Maksud saya, sekadar
menegaskan bahwa karya-karya Didi Kempot tak lahir dari ruang hampa, tak
sekadar teori, tapi ia sendiri telah mengalami.
Ketika Didi Kempot pulang ke Rumah Abadi-nya (5/05/2020) dan kita memutar kembali Ambyar, Sewu Kutho, atau Banyu Langit, kita mungkin terbawa dan menikmati luka terindah yang tak jarang membuncahkan air mata. Selamat jalan, Pak Lik!
0 Komentar