The Power of Ambyar

Jusuf AN

"Karya yang monumental lahir dari para seniman yang didasarkan atas cinta, atau benci, atau patah hati." Entah kenapa mendadak saya teringat pernyataan itu, atau mirip itu, yang pernah saya dengar dari maestro sastra Ahmad Tohari.

Jalaluddin Rumi yang mabuk cinta Allah melahirkan puisi-puisi yang hebat, menggetarkan, dan terus dibaca selama lebih dari 8 abad. Demikian pula William Shakespeare, menulis drama Romeo and Juliet yang masyhur lantaran diilhami oleh bunga yang mekar dalam hatinya, juga hati yang remuk dan terbakar.

Tema cinta memang selalu abadi, tak pernah habis digali, dan terus dijadikan sumber inspirasi para seniman, dan tetap saja mendapatkan banyak perhatian. Ini seperti sebuah keajaiban, atau sebenarnya satu hal yang sudah selayaknya. Kita maklum saja, sebab manusia dianugrahi perasaan itu, dan bahkan disebut-sebut bahwa Cinta adalah asalmula segala benda. Dan tema cinta bagaikan magnet yang menarik orang-orang untuk kembali melongok ke dalam cermin yang memantulkan diri mereka sendiri.

Meski begitu, tidak semua karya tentang cinta dapat bertahan lama, dalam arti terus dikenang, diperbincangkan, dijadikan referensi, menjadi tonggak (pathokan), dan bahkan semacam kitab suci (pedoman). Sebagian kecil yang bertahan ternyata adalah karya-karya yang menyatu dengan sejarah dan perilaku sang seniman. Ini menandakan bahwa keterlibatan emosi tidak hanya dapat mempengaruhi kuatnya sebuah karya, tetapi akan membuat karya tersebut memiliki ruh yang dapat hidup lebih lama ketimbang jasad.

Lalu kebencian? Jika ada hal yang kuat menggerakkan seseorang, itu adalah benci. Seniman banyak menghasilkan karya atas dasar kebencian mereka terhadap sesuatu. Kebencian ini menghasilkan api amarah, bahan bakar yang ampuh memunculkan gairah dalam berkarya. Kebencian terhadap tirani, pemerintah yang otoriter, ketidakadilan para penguasa, nasib yang pahit, dan hal-hal semacam itulah yang biasanya menyulut tangan para seniman untuk berkarya. Bisa jadi karya mereka memang diniatkan sebagai jalan perlawanan, atau pelepasan emosi yang meluap-luap dalam dada.

Benci, dendam, amarah. Adakalanya memang perlu dirawat. Dan jika mendapat penyaluran yang tepat, maka mereka dapat berubah menjadi ledakan yang kuat. Bob Marley, Widji Thukul, W.S Rendra, dan banyak seniman lain yang menggelontorkan kebencian  mereka melalui karya. Dan kita bisa lihat, karya-karya mereka seakan memiliki kekuatan magis, tak sekadar menghibur dan memberi informasi, tapi menggetarkan, dan menggerakkan.

Pun patah hati? Betapa biasanya adalah gabungan antara cinta dan benci? Cinta yang tidak direstui, perpisahan yang tidak diinginkan, kemiskinan yang bertubi-tubi dan lain sebagainya. Patah hati sungguh dapat melahirkan kekuatan besar yang tak pernah terbayangkan. Ia dapat merusakmu, merusak apa-apa yang ada di sekitarmu, tetapi juga bisa menjadi cahaya dan mata air yang menyejukkan bagi siapa saja.

Didi Kempot adalah fenomena di mana the power of ambyar itu bekerja. Lirik-lirik lagunya mendapat tempat yang lapang di hati banyak orang. Ya, meski lirik-lirik dengan tema yang sama tak terhitung jumlahnya, tapi Didi Kempot terpilih sebagai "Bapake Lara Ati" (The God Father of Broken Heart). Lagu-lagunya dianggap mewakili jutaan umat, yang tergabung dalam jamaah ambyar. Didi Kempot sendiri mengakui bahwa inspirasi lagu-lagunya adalah kisah hidupnya sendiri, tentu saja tidak seluruhnya. Tetapi soal patah hati (ambyar), beliau salah satu  pawangnya. Tidak jauh beda dengan Shakespeare yang lara karena dtinggalkan kekasihnya, Paman Didi Kempot pernah terluka karena cintanya tidak direstui oleh orang tua kekasihnya. Maksud saya, sekadar menegaskan bahwa karya-karya Didi Kempot tak lahir dari ruang hampa, tak sekadar teori, tapi ia sendiri telah mengalami.

Ketika Didi Kempot pulang ke Rumah Abadi-nya (5/05/2020) dan kita memutar kembali Ambyar, Sewu Kutho, atau Banyu Langit, kita mungkin terbawa dan menikmati luka terindah yang tak jarang membuncahkan air mata. Selamat jalan, Pak Lik!

Posting Komentar

0 Komentar