Tujuh Langkah Menuju Setahun Satu Buku


Jika perubahan membutuhkan momentum, maka awal tahun menjadi waktu bagus untuk kita membuat target. Meski yang terpenting adalah aksi, tapi rencana adakalanya diperlukan juga, setidaknya untuk menumbuhkan harapan. Bukankah manusia memerlukan harapan untuk tetap bertahan hidup.

Menulis buku tentu memerlukan rencana, sementara target dibuat agar kita bisa semakin bersemangat dalam berkarya. Setahun satu buku saya kira bukan target yang berat, juga bukan target yang ringan, mengingat menulis buku tidak seperti membuat gorengan.

Kenapa hanya satu buku? Dalam waktu satu tahun, menulis 12 buku pun sebenarnya bisa. Bahkan pernah ada yang menulis 30 buku dalam sebulan. Atau minimal 2 bukulah, jadi setengah tahun satu buku. Ya, rencana boleh sesukanya, tetapi membuat target tanpa aksi nyata justru akan membuat kita jadi pesimis akhirnya. Misalnya, anda membuat target setahun 3 buku, tapi kenyataannya anda tidak menghasilkan apapun selama setahun, atau hanya 1 buku anda hasilkan. Maka, anda memang layak bersedih. Meski begitu, tidak ada salahnya untuk mencoba lagi—misal jika memang anda pernah gagal sebelumnya. Barangkali karena memang amunisinya kurang. Dan bukankah kegagalan bisa jadi guru?

Baiklah, beberapa langkah berikut mungkin perlu kita coba untuk menghalau kegagalan apa yang kita rencanakan—atau agar kegagalan tidak terulang.

Pertama, niat. Ini rukun pertama yang hampir selalu ada dalam setiap amal. Al-umuru bi maqashidiha. Segala sesuatu tergantung pada tujuannya. Kenapa kita mesti membuat buku? Bahkan setahun satu buku? Kenapa? Sekadar gaya? Menjaga kreatifitas, mengasah imajinasi, merawat kebahagiaan, berbagi? Apa lagi. Tambahkan sebanyak-banyaknya alasan agar tujuan anda membuat buku setahun satu benar-benar kuat. Beberapa mungkin terkait motif-motif yang nyrempet-nyerempet hal negatif, misal supaya terkenal, biar keren, biar cepat naik pangkat, agar disebut penulis produktif, supaya dianggap pintar. Bagi saya, hal-hal negatif yang secara normatif dianggap negatif tersebut tak mengapa dimunculkan, sekadar untuk memacu semangat saja. Kelak, jika buku sudah jadi dan hendak dipublish, barulah anda bisa meluruskan niat. Menipu setan, demikian menurut seorang kiai yang produktif menulis.

Kedua, menambah wawasan. Apa yang akan kita tulis sementara wawasan kita itu-itu saja. Maka tugas penulis yang utama adalah mengisi dan menambah wawasan, yang merupakan amunisinya. Yang terbaik adalah dengan banyak membaca. Selain cakrawala pengetahuan menjadi semakin meluas, ide-ide menulis hal-hal baru biasanya juga akan kita temukan.

Ketiga, menulis ala ngemil. Jika Hernowo pernah menganjurkan membaca seperti halnya aktifitas ngemil dalam buku Mengikat Makna, maka menulis ala ngemil juga bisa dipraktikkan. Adakalanya sebuah buku dirancang khusus, dengan diawali outline, draft, proses penulisan dan selesai. Ada juga buku yang merupakan bunga rampai dari tulisan-tulisan yang pada mulanya tidak diniatkan untuk buku. Tulisan-tulisan dengan tema sama kemudian digabung dan jadilah buku. Jika anda menulis 1 artikel dalam seminggu, maka dalam setahun sudah terkumpul 52 artikel (terus terang saya menghitungnya dengan kalkulator). Anggaplah ada separuh artikel tersebut yang layak dan setema, maka ada 26 artikel, dan itu sudah sangat bisa menjadi sebuah buku. Dan jika setiap hari anda menulis maka, hitung sendiri.

Keempat, luangkan waktu. Ini resiko bagi anda yang sudah bertekad akan menghasilkan buku setahun satu. Berapa waktu yang dibutuhkan, terserah. Terpenting, anda menyediakan waktu untuk menulis. Bisa saja anda tidak menulis sebulan, lalu menulis lagi pada bulan berikutnya.

Kelima, merayakan kelahiran buku. Seperti bayi, buku yang telah terbit meski dirayakan. Karena buku ibarat rumah gagasan dan hasil perenungan, maka perayaannya salah satunya bisa dengan mengadakan pesta diskusi. Perayaan kelahiran buku bisa berarti untuk menjaga stamina karena dari sanalah kita percaya bahwa karya yang kita lahirkan diapresiasi pembaca, bukan semata menyenangkan diri sendiri. Tapi juga harus diingat, tidak selalu apa yang kita tulis disenangi atau diangguki pembaca. Bisa saja buku kita berbuah kontroversi, atau disambut datar saja. Ini bisa membuat penulis punah semangatnya, atau setidaknya mengendur. Sebagai penulis, tidak perlu berlebihan menanggapi respon khalayak pembaca. Jika ada respon negatif, jadikan pemantik untuk kita lebih baik lagi berkarya. Dan jika mendapat respon positif (pujian misalnya), janganlah membuat penulis terlena.

Keenam, berkomunitas. Kalau ada komunitas sagu sabu (satu guru satu buku), bisa juga kita membuat komunitas satutabu (satu tahun satu buku), atau apalah. Yang intinya sebagai pemacu kreatifitas, dan wadah untuk saling berbagi dan menyemangati.

Ketujuh, berani. Tentu saja ini sangat luas. Bukan hanya berani menghadapi kritik, berani dianggap sok, berani meluangkan waktu. Termasuk juga berani menabung. Bisa saja karya kita tidak dilirik penerbit mayor dan pada akhirnya memilih jalur indie—atau jalur indie juga menjadi prioritas tetapi tidak selalu penjualan buku dapat menutup ongkos cetak. ‘berani’ saya letakkan di nomor tujuh, tetapi bisa juga ditaruh di awal. Apapun, kalau kita sudah berani maka jalan-jalan akan terbuka. Sebaliknya, kecemasan dan ketakutan akan menutup pintu-pintu untuk maju.

Empat hal itu, jika betul kita jalankan, rencana menghasilkan buku setahun satu menjadi semakin terbuka. Tinggal satu keputusan anda, berani mencoba atau tidak.

Wonosobo, 31 Desember2018-1 Januari 2019

Posting Komentar

0 Komentar