Ahmad Tohari dan Ronggeng Dukuh Paruk



Waktu itu, saya berkesempatan mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) di Cianjur, Awal Agustus 2016. Meski sudah cukup lama menulis karya sastra saya merasa mendapatkan banyak ilmu baru dalam kegiatan tersebut, selain tentu teman dan kenangan. Di antara mereka yang menjadi pembimbing Mastera Novel waktu itu adalah Triyanto Triwikromo, Agus R. Sarjono, Abidah El-Khaeliqy, dan yang paling sepuh adalah beliau Abah Ahmad Tohari.
 
Salah satu kegiatan Mastera adalah sharing proses kreatif. Sebenarnya ini sukarela saja, tidak semua pembimbing membuka proses kreatifnya. Salah seorang yang dengan senang hati berbagi pengalaman menulisnya adalah Ahmad Tohari.

Kita tahu, Ahmad Tohari masyhur dengan novelnya Ronggeng Dukuh Paruk. Bahkan bisa dikatakan, Ahmad Tohari ya Ronggeng Dukuh Paruk, meski dia telah menghasilkan banyak novel yang lain.
Di meja bundar, setelah selesai membahas soal diksi Ahmad Tohari menuturkan pengalamannya. Tentu kami sangat senang dan menyimaknya baik-baik. Saya tidak merekam suaranya, tetapi saya menulis cepat apa yang beliau sampaikan dengan pelan. Tentu tidak semuanya bisa saya kejar, tetapi phoin-phoinnya bisa saya tangkap untuk kemudian saya tulis ulang dengan gaya bebas.

Proses kreatif Ahmad Tohari

Beginilah proses kreatif Ahmad Tohari, khususnya berkaitan dengan sebelum dan setelah novel ronggeng dukuh paruk.

Novel ronggeng dukuh paruk ditulis oleh Ahmad Tohari ketika umurnya 28 tahun. Waktu itu, beliau sudah menjadi redaktur Harian Merdeka di Jakarta, jadi sudah menguasai betul soal bahasa.
“Sebetulnya berangkat dari peristiwa berdarah tahun 1965. Di kampung saya banyak orang dibunuh, di depan umum, banyak rumah dibakar, di depan umum. Lalu peristiwa eksekusi, di pertontonkan!”
Melihat peristiwa tersebut, beliau betul-betul sangat terguncang, traumatik, dan tidak bisa menerimanya. “Kalau pun komunis yang menang, mungkin kami dihabisi PKI, tapi nyatanya PKI yang kalah.”

Proses Kreatif Ronggeng Dukuh Paruk

Pada saat Ronggeng Dukuh Paruk mulai ditulis, belum ada satu pun novel yang berani mengangkat isu PKI sebagai latar. Dan Ahmad Tohari nekat melakukannya. Tidak tanggung-tanggung beliau memutuskan keluar dari zona nyaman, berhenti menjadi redaktur, lalu pulang kampung dan memulai menulis secara bebas, hingga kelak sanggup meyelesaikan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Ada beberapa hal yang menginspirasi kelahiran ronggeng dukuh paruk. Pertama, kemiskinan, kedua, kelicikan orang-orang kaya, dan ketiga, pemberontakan atas perilaku TNI dan orang-orang kampung yang telah berbuat semena-mena. Beliau merasa marah dengan realitas yang melingkupinya.
Meski Ronggeng Dukuh Paruk penuh kritik terhadap pemerintah, khususnya para serdadu, tetapi kenapa Ahmad Tohari bisa aman sampai sekarang? Sementara banyak penulis pada masa Orba yang dibuang, dipenjara tanpa pengadilan, dilenyapkan dan sampai sekarang tidak jelas rimbanya. Begini keterangan beliau...

Kehidupan dan Karya Ahmad Tohari

“Saya memakai beberapa trik. Pahlawannya ‘kan tentara. Dibuat asyik dulu dengan ronggeng.” Maksudnya, pada bagian-bagian awal novel Ronggeng Dukuh Paruk, belum ada kritik tajam soal keberingasan tentara, tetapi lebih menceritakan kehidupan ronggeng.

Selain itu, ketika menjadi cerita bersambung di Kompas, redaksi juga memenggal bagian-bagian yang sensitif menyangkut tentara . Saya sendiri baru tahu kalau novel itu pernah menjadi cerita bersambung di Kompas pada tahun 80-an. “Yang memutuskannya adalah Jacop Oetomo sendiri. Waktu itu baru selesai bab 7, yang terakhir belum selesai.”

Sejak menjadi cerbung itulah Ahmad Tohari menerima puluhan surat pembaca. “Semua surat pembaca tidak hanya menyinggung isi cerita, tetapi juga menyinggung bahasa.” Menandakan bahwa banyak pembaca terkesan dengan cerita ronggeng dukuh paruk.

Tidak hanya pujian, ada juga beberapa ulama yang mempersoalkan novel tersebut, terlebih Ahmad Tohari masih merupakan keturunan Kyai dan punya ikatan dengan pesantren. Dunia ronggeng yang gelap, bahasa-bahasa yang tabu seperti tetek dan sebagainya menjadi hal yang dipermasalahkan.
“Dari sisi sufistik, bahwa apa pun yang ada di langit, dan di bumi milik Tuhan. Ronggeng juga milik tuhan. Apakah kalian tidak belajar fiqih? Kok heran jika ada kata-kata genital di novel?” Demikian Ahmad Tohari berusaha menangkis pandangan-pandangan miring soal tema novelnya dan bahasa yang digunakan.

Lalu, apakah Ahmad Tohari benar-benar bebas dari intimidasi tentara? Tidak!

“Tahun 1986 saya menerima surat yang ditandatangi Mayor Jendral.” Dan Ahmad Tohari memenuhi panggilan itu, berangkatlah beliau ke Jakarta. Di sana beliau ditanyai macam-macam. Tapi anehnya, “Mereka bertanya tapi sudah menyediakan jawabannya.” Sehingga beliau seperti memang sudah dijerat dan dicap salah. Selama empat hari beliau dikurung, dan pada hari kelima datanglah pertolongan itu.
Tentara yang mengiterogasinya bertanya: “Apakah ada orang yang bisa menjamin Anda bukan penganut komunis?” Kemudian Ahmad Tohari menulis sebuah nama, lengkap dengan nomor telponnya. “Namanya Abdurrahman Wahid. Waktu itu Gus Dur menjadi ketua PBNU.” Ahmad Tohari sudah kenal sejak lama dengan Gus Dur dan hafal nomor telponnya. Mengetahui nama itu, Ahmad Tohari langsung dibebaskan.

Yang paling menarik dan cukup menggelikan adalah cerita ketika suatu hari, Gus Dur datang ke rumahnya. Ya, sepulang bertualang ke Timur Tengah dan Eropa, Gus Dur datang ke rumah Ahmad Tohari di Banyumas. Untuk tujuan apa? Tidak lain semata, memberi pendapat tentang novelnya, Kubah. Kata Gus Dur, novel kubah jelek, karena begini-begini-begini dan seterusnya. Dan Ahmad Tohari tidak jengkel. Justru dengan itu beliau menjadi tahu seperti apa novel yang bagus. Ya Ronggeng Dukuh Paruk itu, Masterpiece-nya. (Jusuf AN)

Posting Komentar

0 Komentar