Apa Kabar, Penerbit Alternatif?


Oleh; Jusuf AN *)

Lebih dari 10 tahun lalu, tepatnya pada 6 Oktober 2001 dalam momentum pameran buku yang diselenggarakan IKAPI di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta sekelompok penggiat penerbit mendeklarasikan berdirinya Asisoasi Penerbit Alternatif (APA). Amien Wangsitalaja (Matabaca, 2003) yang merupakan deklataror APA memberikan 4 karakteristik penerbit alternatif, yakni: (1) berbekalkan semangat idealistik; (2) bukan sebagai sebuah usaha dagang yang murni; (3) bermodal finansial yang pas-pasan; dan, (4) memiliki semangat mendobrak mainstream wacana yang status quo.

Istilah “penerbit alternatif” sendiri baru mulai akrab pada pengujung dekade 1990-an di mana orde baru (Orba) tumbang dan kemudian bermunculan penerbit-penerbit kecil, khususnya di Jakarta dan Yogyakarta. Meski demikian, sebenarnya sejak akhir abad 19 penerbit alternatif sudah dimulai oleh warga keturunan Tionghoa dan peranakan Indo-Eropa. Pada waktu itu usaha penerbit alternatif digagas guna melawan penjajah Belanda yang represif terhadap langkah-langkah perjuangan. Sebagaimana diungkap Donny Anggoro (2004), setiap penerbit waktu itu diharuskan menyerahkan naskah kepada penguasa sebelum dicetak sehingga bisa diedit, diubah atau bahkan “dilarang sebelum beredar”. Penerbit alternatif pada masa itu juga berkeinginan melawan penerbit sebelumnya yang sudah mapan, di antaranya Balai Pustaka, yang dianggap telah berpihak pada kepentingan kekuasaan penjajahan Belanda. Dari sinilah kemudian muncul orang-orang pribumi (baca: bumiputra) yang kemudian tumbuh menjadi jurnalis sekaligus penerbit, di antaranya Semaoen, Tjipto Mangoenkoesomo, Tan Malaka, Alimin, dan beberapa nama lain. Sementara dari golongan sejarah berbalutkan karya fiksi lahir Marco Kartodikromo (1890-1935), seorang jurnalis cum aktivis revolusioner.

Sampai di sini, kita bisa menandai karakteristik penerbit alternatif yang paling menonjol, baik penerbit alternatif pada era kolonialisme atau yang tumbuh pada paruh pertama dekade 1990-an, yakni adanya semangat mendobrak mainstream wacana dengan produksi buku-buku dengan tema-tema yang berpeluang minim untuk diterbitkan karena kondisi politik yang tidak kondusif. Kini, pasca runtuhnya kekuasaan monolitik Orba, yang menandai dibukanya keran demokrasi, penerbit alternatif seolah kehilangan gema. Sukar kita menemukan penerbit non-commercial, demonstrating that 'a basic concern for ideas, and not the concern for profit. Maka, kita patut bertanya, apa kabar, penerbit alternatif?

Sukar, bukan berarti tidak ada. Kalaupun sebagian besar penerbit alternatif, bahkan yang dulu begitu bangga menyebut dirinya penerbit berpredikat alternatif, sudah tak lagi beroprasi, atau telah berpindah jalur toh itu hak mereka. Yang terang, kita patut memberikan apresiasi kepada penerbit alternatif yang sampai sekarang masih bertahan (kalau memang masih ada), dan yang belakangan ini tumbuh. Sebab kita tahu, menerbitkan dan merawat penerbitan alternatif supaya tetap eksist bukan pekerjaan gampang.

Saya sendiri tak tahu apakah APA  masih berdiri atau tidak. Tetapi beberapa penerbit alternatif kecil yang baru-baru ini muncul, cukup membuat saya terharu bangga. Hanya bermodal semangat idealistik dan uang pas-pasan, bahkan bisa jadi ngutang, beberapa pegiat sastra-budaya di berbagai kota turut ambil bagian dalam memajukan negeri ini. Ambillah contoh beberapa buletin yang terbit berkala, seperti Rajakadal (Bandung), Pawon (Surakarta), Jurnal Sundih (Bali), dan Ben! (Yogyakarta). Para penggiat penerbit alternatif tersebut rela lembur, muter-muter cari sponsor dan iklan, merogoh kantong pribadi, dan bergelirya memasarkannya sendiri sampai ke pelosok-pelosok desa. Bahkan, Jurnal Cerpen Indonesia, yang dikelola Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia, yang kelihatannya mentereng itu konon pernah diterbitkan dari uang hasil patungan para pengurusnya.

Tantangan Baru

Sejak Ts’ai Lun menemukan kertas dan menyusul 4 abad kemudian Gutenberg menemukan mesin cetak kemajuan dunia semakin pesat. Sementara masih belum matang negeri ini dengan budaya tulis-baca, sudah tertindih budaya elektronik. Globalisasi benar-benar telah membuat masyarakat negeri ini mengalami gegar budaya.

Barangkali fenomena inilah yang mendorong Joko Sumantri, Koordinator buletin Pawon, yang pernah berkeinginan menumbuhkan “Kota-kota Sastra” itu menuturkan bahwa, buku-buku mahal diyakini telah mengulitkan akses kelompok ekonomi lemah guna mengakrabi karya sastra (baca: buku). Dengan menerbitkan media altenatif yang murah ia berharap akan bisa meningkatkan gairah membaca masyarakat. Menurutnya, buku-bnuku tebal dapat menghalangi pengkonsumsian karya sastra (membuat jeri pembaca) terutama pada tahap perkenalan. Kalau apa yang dikatakan Sumantri itu benar maka salah besar kalau menganggap penerbitan media alternatif sudah tak lagi diperlukan setelah keran kebebasan dibuka. Kini, penerbit alternatif dibutuhkan dengan tantangan baru yang tak kalah berat.

Jika penerbit alternatif pada masa penjajahan Belanda dan pada masa Orba bertujuan mendobrak mainstream wacana yang status quo, maka penerbit alternatif sekarang selain mewujudkan buku-buku murah bahkan gratis, tetapi tetap menjaga mutu, juga salah satu cara untuk keluar dari arus pasar. Sebab yang dijadikan alasan utama menerbitkan buku oleh para penerbit mapan kini bukan lagi karena buku itu bermutu, melainkan karena keinginan pasar. Jika ancaman yang ditakutkan penerbit alternatif era kolonialisme dan era Orba adalah penguasa, maka ancaman penerbit alternatif sekarang adalah persoalan manajemen yang kacau dan semangat yang bisa luntur kapan saja. Andai APA kembali nongol dan mewadahi ratusan penerbit alternatif di negeri ini barangkali perkembangan penerbit alternatif akan semakin bagus, bukan hanya terbit sekali dua kali lalu mati. Ah, barangkali APA pernah mengalami trauma atas anak-anaknya yang “durhaka” itu.

*) Jusuf AN, pemilik Bimalukar Publishing

Catatan: Tulisan tersebut saya tulis sekitar tahun 2007, saya lakukan beberapa perubahan.

Posting Komentar

0 Komentar